INFORMASI DETAIL PERKARA
Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2025/PN Bkt | Roni Pasla panggilan Roni | Reskrim Kepolisian Resor Bukittinggi | Persidangan |
Tanggal Pendaftaran | Senin, 21 Apr. 2025 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2025/PN Bkt | ||||
Tanggal Surat | Senin, 21 Apr. 2025 | ||||
Nomor Surat | 721/SK/KP.RPP-B/IV/2025 | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Permohonan Praperadilan atas Nama RONI PASLA Pgl. RONI
Dengan Hormat,
Perkenankanlah kami :
Riyan Permana Putra SH, MH, Gusti Prima Maulana SH, Faizal Perdana Putra SH, yang berkantor pada Kantor Pengacara dan Konsultan Hukum Riyan Permana Putra, S.H., M.H. & Rekan yang beralamat di Jalan Mr. Assaat, Kel. Campago Guguak Bulek, Kec. Mandiangin Koto Selayan (MKS), Kota Bukittinggi, Sumatera Barat, Telp: 081285341919, Email: riyanpp@gmail.com, website: pengacarabukittinggi.com.-----------------------------------
Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 11 April 2025, baik secara bersama-sama ataupun sendiri-sendiri untuk dan atas nama RONI PASLA Pgl. RONI Untuk selanjutnya disebut sebagai PEMOHON ————————————------------------
—————————————–M E L A W A N——————————–———
RESKRIM KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH SUMATERA BARAT RESOR BUKITTINGGI yang beralamat di Jl. Jend. Sudirman, Birugo, Aur Birugo Tigo Baleh, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat 26122, Indonesia. Untuk selanjutnya disebut sebagai TERMOHON ——————————————------------------
Untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap Penetapan sebagai tersangka Tindak Pidana Perbuatan Cabul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo UU No. 17 Tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak oleh Kepolian Negera Republik Indonesia Daerah Sumatera barat Resor Bukittinggi.
Adapun yang menjadi alasan permohonan pemohon adalah sebagai berikut :
A. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Bahwa menurut Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 "Negara Indonesia adalah Negara hukum" dan menurut Pasal 28D UUD 1945, "setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Ketentuan kedua pasal UUD ini bermakna bahwa adalah merupakan hak asasi manusia untuk mempertahankan harkat, martabat, dan kedudukannya sebagai manusia di hadapan hukum melalui proses hukum yang berkeadilan dan bermartabat;
2. Bahwa Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
3. Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
1) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
2) Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
4. Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
1) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
2) ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
5. Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.
6. Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :
1) Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
2) Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
3) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
4) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
5) Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
6) Dan lain sebagainya.
7. Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :
Mengadili,
Menyatakan :
• Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
• [dst]
• [dst]
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
• Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
8. Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.
B. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. PEMOHON MERUPAKAN PENDERITA Orang dengan Gangguan Jiwa (ODJG) YANG SEHARUSNYA TIDAK BISA DIBEBANI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan Pemohon, Pemohon adalah penderita Orang dengan Gangguan Jiwa (ODJG), maka Pemohon secara hukum tidak dapat bertanggung jawab atas dugaan perbuatan yang dilakukannya, maka pada Pemohon berlaku alasan pemaaf, dimana menurut KUHP Pemohon tidak dapat dipidana dan hakim dapat memerintahkan agar pelaku dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum 1 tahun, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP untuk mencegah terjadinya hal serupa yang membahayakan baik keselamatan orang gila tersebut maupun masyarakat sekitar.
Mengacu pada Pasal 44 ayat (1) KUHP statusnya tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban secara pidana. Hal ini disebabkan karena kondisi mental atau keadaan jiwa pelaku yang tidak memenuhi unsur kesalahan yaitu akal pelaku tidak dapat membedakan hal yang baik dan buruk, hal yang diperbolehkan oleh hukum dan yang tidak diperkenankan menurut hukum. Selain itu penderita gangguan jiwa juga tidak memenuhi faktor kehendak karena tidak mampu untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan. Pelaku yang mengalami gangguan kejiwaan tidak memiliki niatan khusus atau kehendak dalam melakukan tindak pidana, justru yang terjadi pelaku melakukan tindakan ini karena adanya pengaruh halusinasi, delusi, dan beberapa tindakan lainnya yang tidak nyata atau tidak benar-benar terjadi. Oleh karena itu pelaku tindak pidana yang menderita gangguan jiwa tidak dapat bertanggung jawab dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban.
Terkait hal ini seharusnya bukti yang dihadirkan Pemohon menjadi dasar pertimbangan hakim untuk memutuskan perkara, sebab kondisi kejiwaan daripada tersangka menjadi alasan penghapusan pidana. Alasan adalah kondisi dimana pelaku sudah melakukan pemenuhan rumusan delik dan seharusnya dipidana. Alasan tersebut dibagi menjadi 2 yakni alasan pembenar dan alasan pemaaf.
Diperkuat juga dengan pendapat R Soesilo (hal. 61) yaitu hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya tersangka dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu dengan meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim berpendapat bahwa bahwa orang itu betul tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu dibebaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolgin).
Pemohon sangat bermohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim a quo untuk menerima permohonan Pemohon dengan menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sesuai dengan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap/11/II/2024/Reskrim, tanggal 11 Februari 2025, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah Sumatera barat Polresta Bukittinggi adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Lalu menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon beserta segala akibat hukumnya berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap/11/II/2024/Reskrim, tanggal 11 Februari 2025, Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/255/XII/2024/Reskrim, tanggal 23 Desember 2024 dan Laporan Polisi Nomor : LP/B/146/XI/2024/SPKT/Polresta Bukittinggi/Polda Sumbar, tanggal 12 November 2024 adalah tidak sah.
Serta menyatakan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP Han/26/11/2025, tanggal 14 Maret 2025 yang diterbitkan oleh Termohon, Surat Perintah Pembantaran Penahanan Nomor: SP.Han/26.a/III/2025, tanggal 18 Maret 2025, Surat Perintah Pencabutan Pembantaran Penahanan Nomor : SP.Han/26.b/III/2025, tanggal 21 Maret 2025, Surat Perintah Penahanan Lanjutan Nomor : SP.Han/26.c/III/2025, tanggal 21 Maret 2025, Surat Perpanjangan Penahanan dari Kepala Kejaksaan Negeri Bukittinggi Nomor : B-104/L.3.11/Eku.1/2025, tanggal 25 Maret 2025 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, oleh karennya Surat Perintah Penahanan dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan tersebut tidak mempunyai kekutan hukum yang mengikat.
Karena prinsip kebebasan hakim menunjukkan bahwa lembaga peradilan memiliki kebebasan dan kemandirian untuk membuat keputusan yang objektif dan adil. Hakim tidak boleh terikat atau tertekan oleh siapa pun, mereka memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun yang mereka inginkan namun tetap sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Dasar yuridis dan filosofis dari kekuasaan kehakiman sebagai entitas yang independen dan bebas dari campur tangan eksternal diatur sesuai dengan ketentuan Pasal 24 UUD 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang memiliki kemerdekaan untuk melaksanakan fungsi peradilan dengan maksud menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hal ini bertujuan untuk menjaga keberlangsungan negara hukum Republik Indonesia. Alat bukti yang dihadirkan Pemohon dalam persidangan pun sebagai dasar yang dapat menimbulkan keyakinan hakim. Hakim berkuasa menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat atau tidak mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kemudian, Hakim bebas untuk melakukan pemeriksaan, pembuktian, dan penentuan keputusan perkara berdasarkan pertimbangan hati nuraninya, hal ini sesuai dengan sistem negatief wettelijk bewijstheorie yang dianut KUHAP dimana tindakan seorang tersangka ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
Selanjutnya, dalam sistem deskriptif normatif memungkinkan hakim mengesampingkan keterangan yang diduga menyalahan aturan dari pihak kepolisian. Hakim Indonesia memahami arti kebebasan mereka dan menggunakannya untuk menjalankan fungsi utama kekuasaan kehakiman sesuai dengan hukum acara dan peraturan perundang-undangan. Jadi, dengan tersangka seorang gangguan jiwa, seharusnya permohonan Pemohon bisa dikabulkan Yang Mulia Majelis Hakim a quo.
2. PEMOHON TIDAK PERNAH DIPERIKSA SEBAGAI CALON TERSANGKA
Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.
“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia),”
Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.
Bahwa Pelanggaran Terhadap Prosedur Hukum yang Berlaku Berdasarkan Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seseorang yang akan dijadikan tersangka harus terlebih dahulu diperiksa dalam kapasitasnya sebagai calon tersangka. Pemeriksaan ini dimaksudkan agar pihak yang bersangkutan diberi kesempatan untuk memberikan keterangan secara seimbang dan melindungi hak asasi orang tersebut. Dalam hal ini, Pemohon tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka sebelum penetapan statusnya sebagai Tersangka.
Ketentuan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 21/PUU-XII/2014 Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa frasa “bukti permulaan yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sebagai minimal dua alat bukti yang disertai dengan pemeriksaan terhadap calon tersangka. Putusan MK ini bersifat final dan mengikat (res judicata) serta berlaku untuk semua pihak (erga omnes), yang artinya, keputusan ini harus dijadikan pedoman oleh penyidik dalam setiap proses penetapan tersangka.
Bahwa Penyidik dalam perkara ini tidak melakukan pemeriksaan terhadap Pemohon sebagai calon tersangka dan tidak ada bukti permulaan yang cukup yang dapat membenarkan penetapan Pemohon sebagai tersangka.
Bahwa Perubahan Status Pemohon dari Saksi ke Tersangka yang Tidak Sah
Bahwa Pemohon dijemput paksa di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) HB Saanin Padang untuk diperiksa sebagai saksi dalam perkara pidana Tindak Pidana Perbuatan Cabul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak jo UU No. 17 Tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU No. 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak sesuai dengan Laporan Polisi Nomor : LP/B/146/XI/2024/SPKT/Polresta Bukittinggi/Polda Sumbar, tanggal 12 November 2024 dan setelah Pemohon diperiksa sebagai saksi, berselang beberapa waktu kemudian Pemohon ditahan. Hal ini dilakukan tanpa ada pemberitahuan resmi atau panggilan kembali yang menyatakan bahwa Pemohon akan diperiksa dalam kapasitasnya sebagai calon tersangka, dan tanpa adanya pemeriksaan terlebih dahulu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Perubahan status yang tidak didahului dengan pemberitahuan atau pemeriksaan calon tersangka jelas bertentangan dengan prinsip transparansi dan hak untuk didengar, sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014.
Bahwa pelanggaran terhadap Hak Asasi Pemohon, Penetapan Pemohon sebagai tersangka dan Penahanan, Penangkapan yang dilakukan kepada Pemohon tanpa adanya pemeriksaan yang sah sebagai calon terangka dan tanpa pemberitahuan mengenai perubahan statusnya jelas melanggar hak asasi Pemohon untuk mendapatkan perlindungan hukum yang adil dan transparan. Tindakan penyidik yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka dan melakukan penangkapan dan penahanan pada pemohon tanpa memberi kesempatan untuk memberikan keterangan atau pembelaan dalam kapasitas calon tersangka adalah tindakan yang tidak sah dan melanggar asas keadilan serta hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi.
Bahwa Ketidaksesuaian Penetapan Tersangka dengan Asas Asas Hukum Pidana Menurut asas hukum pidana, penetapan tersangka harus dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan melalui prosedur yang jelas. Dalam hal ini, tidak terdapat bukti permulaan yang sah atau pemeriksaan terhadap Pemohon sebagai calon tersangka sebelum penetapan statusnya. Penetapan tersangka yang dilakukan tanpa adanya pemeriksaan dan bukti permulaan yang cukup bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana yang adil dan sah.
Akibat Hukum dari Tindakan yang Tidak Sah Berdasarkan ketentuan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, penetapan tersangka terhadap Pemohon yang dilakukan tanpa pemeriksaan sebagai calon tersangka dan tanpa memenuhi syarat bukti permulaan yang cukup adalah tidak sah dan harus dibatalkan. Oleh karena itu, Pemohon mengajukan permohonan agar hakim praperadilan membatalkan penetapan tersangka terhadap Pemohon oleh Termohon, yaitu Polresta Bukittinggi.
Bahwa pada pasal 19 ayat 2 berbunyi: "Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah." Menurut Pasal tersebut, penangkapan dapat dilakukan jika tersangka mangkir dari panggilan resmi dua kali berturut-turut tanpa alasan jelas, sedangkan Pemohon sedang dirawat atas rujukan dokter di RSJ HB Saanin Padang. Selain itu, penahanan dapat dilakukan jika ada kekhawatiran tersangka akan melarikan diri, merusak barang bukti, atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 Ayat 1 KUHAP).
Untuk itu berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini Reskrim Polresta Bukittinggi.
Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo.
3. BAHWA PEMOHON TIDAK ADA MELAKUKAN DUGAAN TINDAK PIDANA SEBAGAIMANA DIMAKSUD PADA PASAL 82 UU NO. 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UU NO. 17 TAHUN 2016 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UU NO. 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UU NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
Bahwa Termohon mendasarkan sangkaan kepada Pemohon pada Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Adapun bunyi Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Lalu bunyi Pasal 76 E UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:
“Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, unsur-unsur yang harus dibuktikan dalam pasal ini meliputi:
a. Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul
Bahwa Pemohon tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan alasan:
1) Pemohon tidak pernah melakukan tindakan kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
2) Bahwa Tidak ada bukti yang cukup untuk menunjukkan adanya maksud atau niat dari Pemohon untuk melakukan tindakan kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Bahwa tidak adanya bukti kuat yang mendukung keterlibatan Pemohon sebagaimana dimaksud dalam pasal yang disangkakan, sehingga tuduhan terhadap Pemohon bersifat prematur dan tidak berdasar hukum.
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka dugaan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diduga dilakukan oleh Pemohon tidak memenuhi syarat formil maupun syarat materiil.
4. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM
Bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.
Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip legality.
Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang dimaksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).
Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi
• ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
• dibuat sesuai prosedur;
• dan substansi yang sesuai dengan objek Keputusan
Bahwa sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku. Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan a quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :
• “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
• Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan
Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Bukittinggi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum
PETITUM
Berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bukittinggi yang memeriksa dan mengadili perkara a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :
1. Menyatakan diterima permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan dugaan Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sesuai dengan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap/11/II/2024/Reskrim, tanggal 11 Februari 2025, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah Sumatera barat Polresta Bukittinggi adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
3. Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh Termohon beserta segala akibat hukumnya berdasarkan Surat Ketetapan tentang Penetapan Tersangka Nomor : S.Tap/11/II/2024/Reskrim, tanggal 11 Februari 2025, Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/255/XII/2024/Reskrim, tanggal 23 Desember 2024 dan Laporan Polisi Nomor : LP/B/146/XI/2024/SPKT/Polresta Bukittinggi/Polda Sumbar, tanggal 12 November 2024 adalah tidak sah;
4. Menyatakan Surat Perintah Penahanan Nomor: SP Han/26/11/2025, tanggal 14 Maret 2025 yang diterbitkan oleh Termohon, Surat Perintah Pembantaran Penahanan Nomor: SP.Han/26.a/III/2025, tanggal 18 Maret 2025, Surat Perintah Pencabutan Pembantaran Penahanan Nomor : SP.Han/26.b/III/2025, tanggal 21 Maret 2025, Surat Perintah Penahanan Lanjutan Nomor : SP.Han/26.c/III/2025, tanggal 21 Maret 2025, Surat Perpanjangan Penahanan dari Kepala Kejaksaan Negeri Bukittinggi Nomor : B-104/L.3.11/Eku.1/2025, tanggal 25 Maret 2025 adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum, oleh karennya Surat Perintah Penahanan dan Surat Perintah Perpanjangan Penahanan tersebut tidak mempunyai kekutan hukum yang mengikat;
5. Memerintahkan Termohon untuk melepaskan Pemohon dari dalam tahanan;
6. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
7. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
8. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
9. Memerintahkan Termohon untuk tunduk dan patuh pada putusan ini;
10. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Pemohon sepenuhnya memohon kebijaksanaan Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bukittinggi yang memeriksa, mengadili dan memberikan putusan terhadap Perkara aquo dengan tetap berpegang pada prinsip keadilan, kebenaran dan rasa kemanusiaan.
Apabila Yang Terhormat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bukittinggi yang memeriksa Permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). |
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |