Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BUKITTINGGI
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2015/PN PNBkt DESMARINI Pemerintah RI Cq. Kapolri Cq. Kapolda Sumbar Cq. Kapolres Bukittinggi Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 14 Des. 2015
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2015/PN PNBkt
Tanggal Surat Senin, 14 Des. 2015
Nomor Surat ..................................................
Pemohon
NoNama
1DESMARINI
Termohon
NoNama
1Pemerintah RI Cq. Kapolri Cq. Kapolda Sumbar Cq. Kapolres Bukittinggi
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

I.    DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN:
1.    Perlu dipahami dan diketahui bahwa terlahirnya Praperadilan adalah karena terinspirasi oleh prinsip-prinsip yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap Hak Asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Cortus act memberikan hak kepada seseorang melalui suatu perintah pengadilan menuntut pejabat yang melaksanakan hukum pidana formil tersebut agar tidak melanggar hukum (illegal) atau tegasnya melaksanakan hukum pidana formil tersebut benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hal ini  untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak asasi manusia.

2.    Bahwa keberadaan Lembaga Praperadilan, sebagaimana diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XII Bagian kesatu KUHAP, secara jelas dan tegas dimaksudkan sebagai sarana control atau pengawasan horizontal untuk menguji keabsahan penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (ic.penyelidik/penyidik maupun penuntut umum), sebagai upaya koreksi terhadap penggunaan wewenang apabila dilaksanakan secara sewenang-sewenang, dengan maksud/tujuan lain diluar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap orang termasuk dalam hal ini Pemohon. Menurut Luhut. M. Pangaribuan, lembaga Praperadilan yang terdapat didalam KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang menerapkan prinsip  Habeas Corpus,  yang mana pada dasarnya menjelaskan bahwa di dalam Masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang.

3.    Bahwa lembaga Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP adalah suatu lembaga yng berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik /Penuntut Umum sudah sesuai dengan Undang undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara cermat atau tidak, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan menyangkut sah tidaknya tindakan penyidik atau Penuntut Umum di dalam melakukan penyidikan atau penuntutan.

4.    Bahwa tujuan Praperadilan seperti yang tersirat dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal, sehingga esensi dari Praperadilan adalah untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau Penuntut Umum terhadap tersangka, benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan Undang-Undang, dilakukan secara profesional dan bukan tindakan yang bertentangan dengan hukum sebagaimana diatur dalam KUHAP atau perundang-undangan lainnya.
Bahwa apabila kita melihat pendapat S, Tanusubroto, yang menyatakan bahwa keberadaan lembaga Praperadilan sebenarnya memberikan peringatan:
•    Agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
•    Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga Negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak asasi manusia
•    Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan financial pemerintah dalam memenuhi dan melaksanakan putusan hukum itu.
•    Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
•    Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
Selain itu menurut pendapat Indriyanto Seno Adji bahwa KUHAP menerapkan lembaga Praperadilan untuk melindungi seseorang dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan kepolisian dan atau kejaksaan (termasuk Termohon sebagai salah satu institusi yang berhak menyidik) yang melanggar hukum dan merugikan seseorang (in casu Pemohon), dimana lembaga Praperadilan ini berfungsi sebagai lembaga pengawas terhadap upaya paksa yang dilaksanakan oleh pejabat penyidik dalam batas tertentu.
 
5.    Bahwa apa yang diuraikan di atas, yaitu Lembaga Praperadilan sebagai upaya pengawasan penggunaan wewenang guna menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia, telah dituangkan secara tegas dalam Konsiderans Menimbang huruf (a) dan (c) KUHAP dengan sendirinya menjadi Spirit atau jiwanya KUHAP, yang berbunyi:
(a)    “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
(b)    “Bahwa pembangunan hukum nasional yang demikian itu  di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing kearah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya Negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Juga ditegaskan kembali dalam Penjelasan Umum KUHAP, tepatnya pada angka 2 paragraf ke 6 yang berbunyi:
“Pembangunan yang sedemikian itu di bidang hukum acara pidana bertujuan, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya dan agar dapat di capai serta ditingkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum, keadilan dan perlindungan yang merupakan pengaman terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia, ketertiban dan kepastian hukum demi tegaknya Republik Indonesia sebagai Negara Hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang 1945.

6.    Bahwa permohonan yang dapat diajukan dalam pemeriksaan Praperadilan, selain dari pada persoalan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan maupun ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan penuntutan (Pasal 77 KUHAP).

7.    Bahwa dengan berpedoman kepada Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 21/ PUU-XII/2014 tertanggal 27 April 2014, didalam putusan Mahkamah Konstitusi mencakup tentang Penetapan Tersangka jadi objek Praperadilan.

8.    Bahwa mendasari substansi pada poin  7 dan 8  di atas maka Pemohon menjelaskan sebagai berikut:
a.    Tindakan lain dalam hal ini menyangkut pelaksanaan wewenang Penyidik maupun Penuntut umum diantaranya berupa penggeledahan, penyitaan, maupun menetapkan seseorang menjadi Tersangka
b.    Penetapan seseorang sebagai Tersangka, khususnya dalam perkara tindak pidana penipuan dan penggelapan sebagaimana yang dimaksud dalam rumusan pasal 378 Jo 372 KUH.Pidana, akan menimbulkan akibat hukum berupa terampasnya hak maupun harkat martabat seseorang in casu Pemohon.
c.    Bahwa dengan ditetapkannya seseorang menjadi Tersangka in casu  Pemohon tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, maka nama baik dan kebebasan seseorang in casu  Pemohon telah di rampas.
d.    Bahwa dari tindakan Termohon yang cacat hukum, yang dibuktikan dengan perkara ini yang diawali dengan tindakan hukum berupa dibuatnya Laporan Kejahatan Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan Nomor: LP/350/K/VII/SPKT-2015, tanggal 4 Juli 2015 atas nama pelapor MINTARIA SITANGGANG.
e.    Bahwa Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/607/X/2015 tanggal 28 Oktober 2015, yang berdasarkan bukti permulaan  premature, serta dengan sangat sederhananya menetapkan Pemohon menjadi Tersangka, tanpa memberi kesempatan kepada Pemohon untuk mengajukan bukti-bukti surat hutang piutang.
f.    Bahwa tindak Termohon dengan surat No: B/351/IX/2015, tertanggal 7 September 2015 yang surat ini permintaan keterangan terkait dengan surat laporan Nomor : LP/350/K/VII/SPKT-2015, tanggal 4 Juli 2015 atas nama pelapor MINTARIA SITANGGANG, tentang dugaan terjadinya tindak pidana penipuan yang diketahui pada tanggal 16 April 2015 sekitar pukul 14.00 Wib di Toko Julio Nomor 5E Belakang Terminal Aur Kuning, Bukittinggi;
g.    Bahwa pada tanggal 18 Nopember 2015 kembali Termohon melayangkan Surat Panggilan Nomor. Pol: S.Pgl/185/XI/2015, Reskrim dengan langsung menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dengan perkara Tindak pidana penipuan dan penggelapan yang terjadi pada tanggal 16 April 2013, sekitar pukul 14.00 wib Toko Julio Nomor. 5E Belakang Terminal Aur Kuning, Bukittinggi.
h.    Bahwa dalam berita acara penolakan menandatangani berita acara pemeriksaan (Tersangka) tertanggal 20 Nopember 2015 dan Berita acara Penolakan Menandatangani sket TKP oleh Tersangka tertanggal 3 Desember 2015, Termohon dalam membuat terjadinya tindak pidana penipuan dan penggelapan pada bulan Desember 2014 .
i.    Bahwa dengan empat (4) Surat dengan  waktu kejadian yang berbeda tanggal 16 April 2015, 16 April 2013 dan bulan Desember 2014 yang tanggalnya tidak diketahui, dengan langsung menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, disini jelaslah bahwa Termohon sendiri tidak dapat menentukan tanggal kejadian yang di sangkakan kepada Pemohon, dengan demikian Pemohon dipaksa jadi Tersangka tanpa ada kesempatan untuk menguji legalitas..
Bahwa apabila dalam peraturan perundang-undangan atau Hukum Acara Pidana tidak mengatur mengenai adanya lembaga koreksi yang dapat ditempuh oleh seseorang, maka hal itu tidak berarti kesalahan Termohon tidak boleh dikoreksi, melainkan kesalahan tersebut harus dikoreksi melalui lembaga peradilan dalam hal ini melalui lembaga Praperadilan, yang dibentuk untuk untuk melindungi hak asasi seseorang (Tersangka) dari kesalahan/ kesewenangan yang dilakukan oleh penegak hukum. Tentunya, Hakim tidak dapat menolak hanya dengan alasan karena tidak ada dasar hukumnya atau karena tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, peranan Hakim untuk menemukan hukum memperoleh tempat yang seluas-luasnya. Hal ini secara tegas dan jelas telah diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10 ayat (1):
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan menggalinya”;
Pasal 5 ayat  (1):
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

9.    Bahwa tindakan penyidik untuk menentukan seseorang sebagai Tersangka merupakan salah satu proses dari sistem penegakan hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, oleh karenanya proses tersebut haruslah diikuti dan dijalankan dengan prosedur yang benar sebagaimana diatur dan ditentukan dalam KUHAP atau perundang-undangan yang berlaku. Artinya, setiap proses yang akan ditempuh haruslah dijalankan secara benar dan tepat sehingga asas Kepastian Hukum dapat terjaga dengan baik dan pada gilirannya hak asasi yang akan dilindungi tetap dapat dipertahankan. Apabila prosedur yang harus diikuti untuk mencapai proses tersebut (penetapan tersangka) tidak dipenuhi, maka sudah barang tentu proses tersebut menjadi cacat dan haruslah dikoreksi/dibatalkan.

10.    Bahwa dalam praktek peradilan, hakim telah beberapa kali melakukan penemuan hukum terkait dengan tindakan-tindakan lain dari penyidik/Penuntut Umum yang dapat menjadi objek Praperadilan. Beberapa tindakan lain dari penyidik atau penuntut umum antara lain penyitaan dan penetapan sebagai tersangka, telah dapat diterima untuk menjadi objek dalam pemeriksaan Praperadilan. Sebagai contoh Putusan Perkara Praperadilan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor. 01/Pid.Prap/PN.Bky, tanggal 18 Mei 2011 Jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor. 88 PK/Pid/2011 tanggal 17 Januari 2012, yang pada intinya menyatakan tidak sahnya penyitaan yang telah dilakukan. Terkait dengan sah tidaknya penetapan Tersangka, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara Praperadilan Nomor: 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel. telah menerima dan mengabulkan permohonan Praperadilan dengan menyatakan antara lain “tidak sah menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
11.    Bahwa beberapa contoh putusan Praperadilan tersebut tentunya dapat dijadikan rujukan dan Yurisprudensi dalam memeriksa perkara Praperadilan atas tindakan/Penuntut Umum yang pengaturannya di luar ketentuan Pasal 77 KUHAP. Tindakan lain yang salah/keliru atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Penyidik/Penuntut Umum, tidak dapat dibiarkan tanpa adanya suatu koreksi. Jika kesalahan/kekeliruan atau pelanggaran tersebut dibiarkan, maka akan terjadi kesewenang-wenangan yang jelas-jelas akan mengusik keadilan.

12.    Bahwa penetapan status seseorang sebagai Tersangka in casu Pemohon, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum/tidak sah, jelas menimbulkan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa koreksi dan/atau pengujian terhadap keabsahan melalui Lembaga Praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu selain sesuai dengan spirit  atau ruh atau jiwa  KUHAP, juga sesuai dan dijamin dalam ketentuan Pasal 17 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang berbunyi,
“setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan dan gugatan, baik dalam perkara Pidana, Perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang tidak adil dan benar”;

II.    ALASAN-ALASAN PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN PRAPERADILAN:
A.    FAKTA-FAKTA:
1.    Bahwa Pemohon adalah seorang ibu rumah tangga biasa dan Pemohon dalam mengajukan permohonan Praperadilan dikarenakan Pemohon  tidak menerima ditetapkan jadi tersangka oleh Termohon, dalam perkara Tindak Pidana Penipuan dan penggelapan, terhadap Laporan Polisi No. Pol: LP/350/K/VII/2015 sebagai mana yang diatur dalam pasal 378 jo 372 KUHP.
2.    Bahwa Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/607/X/2015 tanggal 28 Oktober 2015, yang berdasarkan bukti permulaan premature, serta dengan sangat sederhananya menetapkan Pemohon menjadi Tersangka.
3.    Bahwa Pemohon ditetapkan jadi tersangka oleh Termohon karena Pemohon tidak lagi mau membayar angsuran kredit pada Bank Mega Syariah yang berkantor di Bukittinggi, atas nama Mintaria Sitanggang (Pelapor Laporan Polisi Nomor. Pol: LP/350/K/VII/2015).
4.    Bahwa Pemohon pada bulan oktober 2012 meminjam uang kepada Pelapor sebesar Rp. 98.000.000,- (Sembilan puluh delapan juta rupiah), dengan bunga sebesar 15% perbulan, dengan menyerahkan jaminan hutang berupa sertipikat hak guna bangunan Nomor. 1620 atas nama M.Herry Susanto (suami Pemohon), pada bulan Januari Pemohon menyerahkan uang kepada Pelapor sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) dan Pelapor mengatakan uang yang sebanyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) tersebut adalah bunga dari pinjaman Pemohon selama 3 (tiga Bulan), jadi pokok dari pinjam tersebut belum dapat diangsur oleh Pemohon dan Pelapor tidak mau memberikan kwitansi terhadap uang bunga tersebut.
5.    Bahwa pada bulan Februari 2013 hutang pokok Pemohon kepada Pelapor belum juga dibayar, maka Pelapor menawarkan cara pembayaran hutang Pemohon dengan cara mencicil ke Bank, Pemohon setuju, karena Pelapor mengatakan “dia akan mengajukan pinjaman kepada Bank Mega Syariah sebesar Rp. 300.000.000,-(tiga ratus juta rupiah) dan Pemohonlah yang mengasur cicilan kredit atas nama Pelapor tersebut.
6.    Bahwa pada tanggal 27 Maret 2013 cairlah kredit atas nama Pelapor sebesar Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah), uang tersebut langsung diambil oleh Pelapor sebesar Rp 202. 450.000,- (dua ratus dua juta empat ratus lima puluh ribu rupiah), sisa uang yang Pemohon terima sebesar Rp. 97.550.000,- (Sembilan puluh tujuh juta lima ratus lima puluh ribu rupiah).
7.    Bahwa Pemohon mulai membayar cicilan kredit atas nama Pelapor pada Bank Mega Syariah dari April 2013 sampai Maret 2015 sebesar Rp. 9.150.000,- (Sembilan juta seratus lima puluh ribu rupiah), pembayaran cicilan kredit tersebut Pemohon hentikan karena Pelapor tidak mau memberikan dan  memperlihatkan Akad Kredit dari Bank Mega Syariah kepada Pemohon dan Pemohon tahu bahwa Pelapor akan menaikan Plafon kredit pada Bank Mega Syariah yang pembayaran cicilannya dibebankan kepada Pemohon.
8.    Bahwa pada Januari 2014 Pemohon meminta jaminan hutang Pelapor berupa sebuah sertipikat hak guna bangunan Nomor: 1620 yang berada pada Pelapor untuk pengurusan sertipikat hak guna bangun Nomor. 1620 menjadi sertipikat hak milik yang masa berlakunya akan berakhir 28 April 2014.
9.    Bahwa untuk menukar status sertipikat dari hak guna bangunan menjadi hak milik itu membutuhkan biaya, ditambah  Pemohon harus membayar cicilan kredit atas nama Pelapor pada Bank Mega Syariah, dengan pertimbangan Pemohon tersebut dari pada membayar bunga hutang yang besar pada Pelapor lebih baik  Pemohon mengalihkan jamin hutang kepada Marlina dengan sepengetahuan dan seizin suami Pemohon (M,Herry Susanto) pada Januari 2014, Pelapor sendiripun tahu bahwa sertpikat tersebut telah menjadi jaminan hutang Pemohon dan suami kepada Marlina dan Pelapor dengan entengnya berkata “ngak apa-apa asalkan hutang kau (Pemohon) dibayar”. Pemohon berhutang kepada Pelapor tanpa sepengetahuan Suami Pemohon.
10.    Bahwa sertipikat hak guna bangunan Nomor: 1620 tersebut adalah kepunyaan dari Pemohon dan dengan diambilnya kembali sertipikat tersebut pemohon tidak ingkar dalam membayar cicilan Kredit tersebut, dengan kata lain Pemohon tidak ada menghapus hutang terhadap Pelapor dan Pelapor tidak mengalami kerugian.
11.    Bahwa dengan uraian dan alasan-alasan tersebut jelaslah bahwa Pemohon tidak ada melakukan suatu tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan sebagaimana yang ditetapkan dalam KUHPidana pasal 378 dan 372 sebagaimana yang di sangkakan oleh Termohon.

B.    TENTANG HUKUMNYA:
B.1. Termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan.
Penyelidikan dan Penyidikan terhadap Pemohon.
a.    Bahwa Termohon tidak mempunyai wewenang dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan dan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, karena permasalahan yang terjadi antara Pemohon dengan Pelapor adalah wanprestasi (hutang piutang), yang mana perkara ini merupakan ranah hukum perdata, yang didahului kesepakatan antara dua pihak yang saling mengikatkan diri satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang ditentukan didalam Pasal 1320 KUHPerdata yang pada pokonya menyatakan “Supaya terjadi persetujuan yang sah dan mengikat perlu dipenuhi empat syarat yaitu:
•    Adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya.
•    Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
•    Adanya suatu pokok persoalan tertentu yang disetujui.
•    Suatu sebab yang tidak dilarang.

b.    Bahwa wanprestasi biasanya terjadi karena Debitur (orang yang memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati, yaitu:
•    Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
•    Tidak tepat waktu dalam memenuhi prestasi.
•    Tidak layak dalam pemenuhan prestasi sebagaimana yang dijanjikan.

B.2. Termohon tidak mempunyai kewenangan menetapkan Pemohon sebagai Tersangka.
a.    Bahwa seharusnya Termohon sebagai Penyidik agar lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka” tidak boleh seenaknya saja asal ada  bukti permulaan yang menurut Termohon (penyidik) cukup langsung ditetapkan sebagai tersangka.
b.    Pemohon dijadikan Tersangka dalam perkara penipuan dan penggelapan dikarenakan tidak mau melanjutkan membayar cicilan kredit pada Bank Mega Syariah atas nama pelapor, karena pelapor tidak mau memperlihatkan dan memberikan Akad Kredit dari Bank Mega Syariah yang mana kasus ini sebenarnya Perdata, dikarenakan penetapan pemohon sebagai tersangka premature karena peristiwa hukumnya adalah perdata, sudah menjadi Yurisprudensi bahwa perkara hutang piutang merupakan sengketa perdata.

B.3 Termohon mempergunakan wewenangnya dalam menetapkan status tersangka terhadap Pemohon, dilakukan untuk tujuan lain diluar kewajiban dan tujuan diberinya wewenang Termohon tersebut, yang mana hal ini merupakan suatu bentuk tindakan penyalahgunaan wewenang (Abuse of Power).
a.    Bahwa Termohon telah mengenyampingkan doktrin-doktrin hukum perdata yang terkait sehingga kasus wanprestasi hutang piutang direkayasa menjadi kasus kejahatan penipuan dan penggelapan padahal hakekatnya merupakan permasalahan murni keperdataan (kontraktual individual), seharusnya dipandang dan diletakkan secara proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan pemaksaan rekayasa.
b.    Bahwa pada dasarnya, hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersama-sama, karena itu prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh oleh Termohon sebagai penegak hukum dalam penetapan seorang sebagai tersangka.    

 

Pihak Dipublikasikan Ya